Selasa, 22 September 2015

Assikalabineng



Kunci Sukses Malam Pertama # 1

Malam pertama bagi pasangan pengantin baru merupakan saat yang menyenangkan sekaligus menegangkan. Hal ini terjadi karena akan menjadi pengalaman pertama pasangan tersebut dalam aktivitas berhubungan seksual. Bisa juga lantaran kesalahan persepsi akibat ketidak tahuan pada aktivitas ini. Ataupun kurangnya pengetahuan pada organ-organ seks yang berperan dalam aktivitas ini.
Malam pertama tidak sekedar hubungan seks dengan pasangan saja. Malam pertama lebih menunjukkan perilaku bercinta sepasang anak manusia yang telah diperbolehkan oleh agama dan norma yang ada. Jika malam pertama ini “terpeleset” pada aktivitas hubungan badan saja, tidak mustahil pengalaman malam pertama ini akan menjadi pengalaman yang menyakitkan atau setidaknya tidak mengesankan bagi pihak istri. Bisa juga akan mengubah pandangan tentang aktivitas bercinta sebagai pasangan suami istri. gairah terhadap hubungan suami istri bisa berkurang dan bahkan frigid.

Pada aktivitas sekedar hubungan seks saja, yg terjadi hanya pelampiasan nafsu birahi pada pasangan. Dasar cinta yang di bentuk sama sekali tidak tercermin. Semua Serba cepat. Hanya menjangkau daerah dada dan genital saja untuk langsung tancap gas. Istri hanya menjadi obyek pelampiasan nafsu saja. Ketika istri masih canggung dan belum benarbenar siap, sang suami sudah membabi buta melampiasakan nafsunya.
Sementara pada aktivitas bercinta yang sesungguhnya, sinar cinta antar dua anak manusioa benar-benar terpancar dalam aktivitas tersebut. Aktivitas bercinta menjadi media bersatunya cinta mereka dengan sepenuh jiwa. Dalam kepasarahan untuk saling memberi dan menerima, tidak hanya untuk kenikmatan diri sendiri. Aktivitas inipun terdorong atas dorongan dan kesadaran dari kedua belah pihak. Tidak saling memaksakan.
Menyiasati malam pertama agar berjalan sesuai harapan, kedua belah pihak sebelum mengadakan aktivitas bercinta sebaiknya membaca bukubuku tentang aktivitas ini. Atau bertanya pada “ahlinya”. Ini dilakukan agar tidak terjadi kekonyolan, kelucuan, kekakuan dan sebagainya yang bisa menghambat acara malam pertama yang penuh kenangan.
Bagi sebagian kalangan, malam pertama adalah malam pertama kalinya mereka tidur bersama setelah mereka resmi menikah. Malam pertama ini tentunya tidak akan indah untuk mereka yang sudah melakukan hubungan suami istri secara “ilegal” atau pra nikah yang seharusnya bisa di hindari mengingat norma masyarakat dan terlebih norma agama yang melarang keras hal tersebut.
Di daerah tertentu mungkin tidak terlalu memperhatikan keadaan pengantin wanita saat menggadakan akad nikah dan pesta. Namun, ada suatu daerah yang benar-benar memperhatikan siklus kewanitaan pengantin wanita sedang haid. Pilihan hari bukan tanpa alasan. Ketika pengantin wanita sedan haid, secara otomatis pasangan pengantin tidak dapat melaksanakan aktivitas malam pertamanya.
Akhirnya, aktivitas bercinta pertama ini bisa tertunda beberapa hari sampai haid selesai. Tertundanya aktivitas seks ini, bisa menjadi saat saling mengenal pasangan secara lebih mendalam lagi. Hingga saat bersama dalam satu ranjang bisa menghilangkan ketegangan, kecanggungan dan kekakuan saat melakukan aktifitas bercinta untuk pertama kalinya setelah pengantin wanita tidak haid lagi.
Ketika kedua-duannya sudah siap dalam tentang waktu itu, keduanya bisa melepaskan rasa penasaran dalam mengarungi percintaan dengan semangat muda yang membara. Kondisi sang istri subur setelah melewati haidnya. Dengan demikian kemungkinan terjadinya kehamilan semakin besar. Sebagai buah dari cita-cita membentuk rumah tangga. Untuk melewati malam pertama dengan sukses, sang suami dapat melakukan beberapa cara agar sang istri melewatinya dengan sukses pula. Hingga menjadi kenangan yang sulit terlupakan.

Hadiah Pernikahan Terindah [ kamasutra versi bugis terus diburu (2) ]

KITAB persetubuhan Bugis, Assikalabineng, punya ciri khas tersendiri. Dia adalah pergulatan pengetahuan, pengalaman, dan spiritualitas masyarakat Bugis yang soal puncak kebudayaan yang amat bersifat private, atau pribadi.
India mengenal Kama Sutra yang merupakan saripati pengetahuan persetubuhan dari kitab Vatsyayana. Meski belakangan kama sutra lebih menonjolkan lelaku atau gaya seksual, tapi sebenarnya ini adalah “gaya hidup” raja-raja untuk mencapai moksa.
Kebudayaan Jawa juga mengenal Serat Centhini dan Serat Nitimani karena terpengaruh kebudayaan Islam, lelaku ini untuk mencapai makrifat.
Sebagai salah satu dari beberapa suku bangsa yang memiliki aksara sebagai medium, Lontara
Assikalaibineng, bisa disejajarkan dengan kitab-kitab dari bangsa berbudaya tinggi lainnya.
Kitab Assikalabineng menempatkan laki-laki sebagai inisiator. Ajaran, tata cara, syarat, atau mantra dalam bahasa Arab atau Lontara, menempatkan pria sebagai tokoh sentral.
Tak mengherankan, ajaran ini hanya diajarkan kepada lelaki yang akan menikah atau sudah menikah. Ajaran ini tidak sama sekali diperuntukkan bagi lelaki yang belum dewasa.
Masyarakat Bugis amat meyakini bahwa seorang suami yang akan menikah di masa “pingitan” sudah membekali diri dengan pengetahuan dan kebijaksanaan Assikalaibineng.
Pengetahuan inilah yang mengkonfirmasikan, betapa berharganya malam pertama bagi laki-laki. Dengan ilmu dan lelaku ini, mempelai pria bisa mengetahui, apakah istrinya masih virgin atau jusrtu akan membuatnya malu.
Ritual Agama
Kitab ini menempatkan hubungan seks di malam pertama dan malam-malam selanjutnya sebagai ritual keagamaan, bukan wadah pelampiasan nafsu, atau menghabiskan masa honeymoon.
Buku ini, seperti ajaran Islam, mengajarkan bagaimana menahan dan mengatur hawa nafsu dengan prosedur teratur dan zikir.
Di halaman 140, misalnya, diajarkan tata cara awal sebelum melakukan hubungan seks. Pasangan mandi secara terpisah, lalu berwudu dan melakukan tafakkur dalam salat sunnah. Buku ini faham betul, bahwa hasrat pria selalu lebih besar, namun paling cepat “terlampiaskan”. Proses ini, diebut dengan “nikah batin”. Istilah ini merujuk kepada pengelaman anak mertua nabi Muhammad, Ali dengan Fatimah.
“..bila kamu dan istrimu pertama kali berhubungan, maka tafakurlah lebih dulu. Pusatkan mata hatimu, lihatlah dirimua sebagai Alif , dan istrimu sebagai huruf Ba.”
Lalu peganglah lengannya lalu ucapkan salam berbunyi, Assaalamu alaikum, Ali memegang, Fatimah dipegang. Apabila kamu memegang tangannya maka ucapkan syahadat. Ucapkan dalam hati atau Jubril menikahkan saya, Muhammad Wali saya, wali saksi saya, atas kehendak Allah taala, kunfayakun. Lalu mulailah dengan ciuman, dan …… “
Nikah Batin
Konsep nikah bathin ini adalah amalan dan ajaran tasawwuf dalam peristiwa Assikalaibineng. Proses ini adalah penyatuan unsur lahiriah dan bathiniah antara lelaki dan perempuan. Dalam kitab ini, disebut penyatuan eppa sulapa. Penyatuan tubuh dengan tubuh, hati dengan hati, nyawa dengan nyawa, dan rahasia dengan rahasia.
Dengan, konsep nikah batin inilah yang merupakan klimaks dalam konteks spiritualitas manusia dalam hubungan seks, atau “tassawuf seks”.
Dan inilah, yang menyebabkan kenapa para bangsawan dan orang berilmu Bugis-
Makassar dalam pesta perkawinannya biasanya memakan waktu persiapan yang lama.
Kitab Assikalaibaineng adalah ilmu yang ditunggu-tunggu atau hadiah perkawinan berharga bagi pria dewasa yang segera ke pelaminan dan akan mempraktikkannya di malam pertamanya.(thamzil thahir)

Mengukur Kejantanan dari Hembusan Nafas [Kamasutra Versi Bugis Terus Diburu (3)]

Assikalaibineng secara harfiah berarti cara berhubungan suami istri. Akar kata serupa juga dipakai masyarakat petani sawah di awal masa tanam.
Karena padi dan sawah diibaratkan istri, maka suamilah diberi otoritas untuk menggarap dan menanam.
Karena ajaran lahir di masa kuatnya paternalistik dan belum ada gerakan persamaan gender, makanya ajaran
Kitab Persetubuhan Bugis ini lebih banyak ditujukan kepada suami. Kitab ini paham betul emosi perempuan dan karena perasaan malunya mereka amat jarang menjadi inisiator.
Inilah yang sekaligus menjelaskan mengapa ilmu tarekat atau tasawuf seks ala Bugis-
Makassar ini diajarkan terbatas ke calon mempelai pria, memilih momentum beberapa hari sebelum akad nikah.
Setelah pengetahuan mandi, berwudu, dan salat sunah lalu tafakur bersama yang disebut nikah batin, maka sampailah pada tahapan lelaku praktis, cumbu rayu, penetrasi, dan masa pascaberhubungan.
Karena
konsep Assikalaibineg mengedepankan ideologi dan tata krama, disarankan agar sebelum aktivitas penetrasi dimulai dilakukan dalam satu sarung, atau kain tertutup, atau kelambu.
Masyarakat Bugis, seperti dikemukakan Christian Pelras dalam bukunya, Manusia Bugis (Oxford: Blackwell, 2006) memang memiliki sarung khusus yang bisa memuat sepasang suami istri.
Sarung jenis ini tentu sangat susah didapat di pasar-pasar sandang kebanyakan.
Namun toh, selimut bisa menjadi alternatif.
Buku ini menggunakan istilah makkarawa (meraba) dan manyyonyo (mencium) untuk tahap foreplay.
Ini dengan asumusi pihak pria sudah mengetahui 12 titik rangsangan, dan rangkaian mantra (paddoangeng).
Meraba lengan adalah titik pertama yang disarankan dikarawa, sebelum meraba atau mencium titi-titik lainnya. Pele lima (telapak tangan), sadang (dagu), edda’ (pangkal leher), dan cekkong (tengkuk) adalah sejumlah titik yang dalam buku ini direkomendasikan di-karawa dan dinyoyyo di tahap awal foreplay.
Setelah bagian badan tubuh, mulailah masuk di sekitar muka.
Titik “rawan” istri dibagian ini disebutkan; buwung (ubun-ubun), dacculing (daun telinga), lawa enning (perantara kening dia atas hidung), lalu inge (bagian depan hidung).
Di titik ini juga disebutkan, tahapan di bagian badan sebelum penetrasi langsung adalah pangolo (buah dada) dan posi (pusar).
Dalam foreplay berupa makkarawa dan manyonyyo ini, buku menyarankan tetap tenang dan mengatur irama naffaseng (nafas).
Karena kitab persetubuhan ini sangat dipengaruhi oleh ajaran fiqhi al’jima atau ajaran berhubungan seks suami istri dalam syariat Islam, maka proses menahan nafas itu direkomendasikan dengan melafalkan zikir dan menyatukan ingatan kepada Allah Taala.
Apakah melafalkan zikir itu bersuara? Tentulah tidak. Zikir dan mantra dalam bahasa Bugis itu dilafalkan dalam hati.
Dalam komentar penulis buku ini,menyebutkan, ejakuliasi dini oleh pria banyak terjadi karena pikiran suami terlalu fokus ke pelampiasan untuk mencapai klimaks.
Perlu diketahui, seperti ajaran agama Islam, kitab Assikalaibineng bukan seperti buku-buku lain yang mengajarkan gaya dan teknis bersenggama dan melampiaskan nafsu belaka.
Laiknya ibadah, inti dari ajaran Assikalibineng adalah mengelola nafsu birahi ke arah yang lebih positif dan bermanfaat secara spiritualitas.
Bukankah seperti kata Nabi Muhammad SAW usai memenangkan Perang Badar, kepada sahabatnya yang bersuka, diperi peringatan, bahwa Perang Badar belum ada apa-apanya.
Perang terbesar manusia Muslim adalah bagaimana menahan hawa nafsu.
Dan nafsu yang amat sulit ditahan oleh manusia secara pribadi adalah nafsu birahi setelah nafsu ammarah (emosi kejiwaan).
Di bagian lanjutan
tulisan ini, nantinya akan mengulas beberapa lafalan teknik menahan nafas.
Namun, bagian lain halaman buku itu juga diberikan tips parktis untuk mengetahui apakah seorang suami siap berhubungan seks atau tidak, maka disarankan bagi pria untuk mengangkat tangan kirinya, lalu menghembuskan nafas dari hidung.
Jika nafas yang keluar dari lubang hidung kanan lebih kuat berhembus, maka pertanda kejantanan yang bangkit.
Namun jika hembusan dari lubang kiri lebih kuat, maka sebaiknya sang suami menunda lebih dulu (hal 141).
“.. dalam keyakinan kebatinan Bugis, nafas hidung yang lemah dan kuat berkaitan langsung dengan ilmu kelaki-lakian atau kejantanan seorang pria…”. (thamzil thahir)

Daerah G-Spot Ala Bugis [Kamasutra Versi Bugis Terus Diburu (4)]

January 21, 2009 - Bugis, ininnawa, Kitab, makassar, seks - no comments
Ketahuilah bahwa uraian hari ini (soal kitab persetubuhan bugis), membuat sy secara refleks menguji nafas hidung dan ternyata hembusan lubang kanan masih lebih deras (tokcer), meski usia sudh msk 55. Ha.ha.ha +62811415***
Tribun Timur | Selasa, 20 Januari 2009 | 03:55 WITA
DATE/TIME:01/19/2009/10:37:56
Pesan singkat salah seorang pembaca Tribun di atas, hanyalah satu dari seratusan pertanyaan dan eskpersi senada yang masuk ke redaksi, sejak tulisan ini muncul pekan lalu.
Muhlis Hadrawi, penulis buku ini, senantiasa mengingatkan di bagian awal, tengah, dan mengunci di akhir bab tulisannya, bahwa
Assikalaibineng bukanlah ilmu pelampiasan hasrat biologis sebagai wujud paling alamiah sebagai makhluk saja.
Penulis menggunakan istilah tasawupe’ allaibinengengnge untuk menjelaskan kedudukan persetubuhan yang lebih dulu disahkan dengan akad nikah dan penegasan kedudukan manusia yang berbeda dengan binatang saat melakukan persetubuhan.
Ini juga sekaligus wujud penghormatan dan menjaga martabat keluarga dalam kerangka mendekatkan diri kepada Allah (hal 123).
Pada bagian awal bab tata laku hubungan suami-istri, Muhlis mengomentari satu dari tujuh manuskrip Assikalaibineng yang menjadi rujukan utamanya menulis buku ini.
Dikatakan ini sebagai pustaka penuntun tata cara hubungan seks untuk suami-istri sebagai ilmu yang dipraktikkan Sayyidina Ali dan Fatimah.
Muhlis memulainya dengan kisah perbincangan tertutup Ali dan istrinya, yang juga putri Nabi, di tahun ketiga pernikahan mereka.
Perkawinan keduanya menghadapi satu masalah sebab Ali belum mengetahui dengan benar bagaimana tata cara menggauli Fatimah.
“Kala itu,” tulis Muhlis, “Fatimah mengeluarkan ucapan yang menyindir Ali, “Apakah kamu mengira baik apabila tidak menyampaikan titipan Tuhan?”
Ali kontan merasa malu dan sangat bersalah. “Ali mulai sadar kalau ia belum memberikan apa yang menjadi keinginan Fatimah di kamar tidur. Maka Ali meminta Fatimah memberitahu keinginan Fatimah dan memintanya untuk mempelajarinya.”
“Fatimah pun merekomendasikan Muhammad Rasulullah, yang tak lain bapak Fatimah. Datanglah Ali ke Nabi Muhammad dan selanjutnya terjadilah transfer pengetahuan dari bapak mertua kepada anak menantu.”
Transfer ilmu atau proses makkanre guru seperti ini amat biasa dalam tradisi Bugis-
Makassar, khususnya keluarga yang mengamalkan ajaran tarekat-tarekat.
Kisah di atas sekaligus menjelaskan bahwa lelaku dan zikir Assikalaibineng tak terlambat untuk dipelajari.
Memang idealnya, tata laku hubungan Assakalaibineng ini diajarkan di awal masa nikah, namun bagi mereka yang ingin mengamalkannya hanya perlu membulatkan tekad, untuk mengubah cara padangnya, bahwa hubungan suami-istri versi Islam yang terangkum dalam lontara ini, berbeda dengan literatur, hasil konsultasi, atau frequent ask and question (FAQ) soal seks yang selama ini sumber dominannya dari ilmu kedokteran Barat.
Pada sub bab Teknik Mengendalikan Emosi Seks atau Hawa Nafsu (hal 150), buku ini menyajikan laku zikir untuk mengiringi gerakan seksual dari pihak suami.
“lelaku zikir ini menjadi penyeimbang nuansa erotis dan terkesan tidak vulgar.”
Teknik mengatur napas adalah inti dari ketahanan pihak suami.
Untuk menjaga endurance napas suami agar istrinya bisa mencapai orgasme, misalnya, saat kalamung (zakar) bergerak masuk urapa’na (vagina) disarankan membaca lafal (dalam hati) Subhanallah sebanyak 33 kali disertai tarikan nafas.
“Narekko mupattamamai kalammu, iso’i nappasse’mu”.
Sebaliknya, jika menarik zakar, maka hembuskanlah napasmu (narekko mureddui kalamummu, muassemmpungenggi nappase’mu), dan menyebutkan budduhung.
Bahkan bisa dibayangkan karena babang urapa’na (pintu vagina) perempuan ada empat bagian, maka di bagian awal penetrasi, disarankan hanya memasukkan sampai bagian kepala kalamummu lalu menariknya sebanyak 33 dengan tarikan napas dan disertai zikir, hanya untuk menyentuh “timungeng bunga sibollo” (klitoris bagian kiri).
Mungkin bagi generasi sekarang, lafalan zikir dalam hati saat bersetubuh akan sangat lucu, namun pelafalan Subhanallah sebanyak 33 kali dan perlahan dan diikuti tarikan napas akan membuat daya tahan suami melebihi ekspektasi istri! (hal 80)
“Mmupanggoloni kalamummu, mubacasi iyae/ya qadiyal hajati mufattikh iftahkna/…..! Pada ppuncu’ni katauwwammu pada’e tosa mpuccunna bunga’e (sibolloe)/tapauttmani’ katawwammu angkanna se’kkena, narekko melloko kennai babangne ri atau, lokkongi ajae ataummu mupallemmpui aje; abeona makkunraimmu, majeppu mukennai ritu atau…., na mubacaisi yae wikka tellu ppulo tellu/subhanallah../”
Artinya, “….arahkan zakarmu, dan bacalah ini/Ya qadiyyal hajati mufattikh iftakhna/….kemudian cium dadanya,. lalu naikkan panggulnya, … ketika itu mekarlah kelaminnya layaknya mekarnya kelopak bunga, masukkan zakarmu hingga batas kepalanya, dan bacalah subhanallah 33 kali…. (hal 144).
Penggunaan kata timungeng bunga sibollo sekaligus menunjukkan bagaimana para orang Bugis-Makassar terdahulu mengemas ungkapan-ungkapan erotis dalam bentuk perumpamaan yang begitu halus dan memuliakan kutawwa makkunraie (alat kelamin perempuan), dan ungkapan kalamummu (untuk zakar). (thamzil thahir)

Terapi Kelingking Untuk Tetap Langsing [Assikalaibieng, Kamasutra Versi Bugis (5)]

Lapawawoi Karaeng Sigeri, Raja Bone yang terkenal cerdas, termasuk seorang suami yang mempelajari dan mengamalkan ajaran assikalaibineng. Stidaknya fakta ini dikonfirmasikan dari lontara Mangkau Bone Ke-31 ini yang secara rapi terdokumentasikan di Perpustakaan Nasional RI di Jakarta.
Manuskrip asli ini pulalah yang menjadi satu dari 44 lontara rujukan utama Muhlis Hadrawi, penulis buku Assikalaibineng, Kitab Persetubuhan Bugis, yang diterbitkan Penerbit Ininnawa, Makassar (2008).
Pengen Dapat Duit Dengan NgeBlog? Daftar di
sini
Secara teknis buku ini terdiri dari 189 halaman. Sebanyak 64 halaman terdiri dari transliterasi asli “kitab assikalaibineng” lontara ke dalam abjad melayu berikut terjemahannya. Inilah matan asli dari kitab tassawupe allaibainengengeng yang merupakan peninggalan leluhur Bugis-Makassar yang teleh terpengaruh dengan ajaran Islam.
Karena buku ini merupakan disertasi untuk meraih gelar magister bidang filologi (ilmu tentang Bahasa, kebudayaan, pranata dan sejarah suatu bangsa dalam bentuk manuskrip asli) di Universitas Indonesia, maka 51 halaman di bagian awal lebih banyak mendiskripsikan latar belakang, asal usul naskah, dan metodologi penelitian.
Sedangkan di bagian akhir, Tata Laku Hubungan Suami Istri, isinya lebih merupakan ringkasan, analisis, sekaligus komentar penulisnya, yang diperkaya dengan literatur penunjang. Namun, bagi pembaca awam yang tidak lagi mengerti Bahasa-bahasa Bugis terhadulu, justru bab akhir inilah yang membatu mendapatkan intisari dari manuskrip tua, yang hingga awal decade 2000, masih beredar di kalangan elite terbatas, masyarakat kita.
Kepemilikan naskah ini oleh Lapawawoi yang kini dimuseumkan di Perpustakaan Nasional, tulis Muhlis, mempertegas sirkulasi ajaran ini selain dimiliki kalangan ulama/cendekia pesantren, pengetahuan ini juga milik bangsawan dan raja-raja Bugis Makassar.
Selain pengetahuan bersetubuh ala bugis, Kitab Persetubuhan Bugis, juga mengajarkan sistem rotasi waktu yang baik untuk berhubungan, dan tata cara perawatan tubuh bagi pihak suami dan istri. Tata laku dan tahapan ini semua dilakukan dalam satu rangkaian dan satu tempat
Untuk melangsingkan tubuh dan memperhalus kulits istri misalnya, suami tak perlu repot-repot menyisihkan uang dan mengantar pasangannya ke pusat kecantikan tubuh. Seperti spa center, steam room Jacuzzi, atau membayar kapster salon.
Di kitab mengajarkan rutinitas kesederhanaan namun tetap dalam bingkai kerahasiaan, tidak diketahui oleh orang banyak.
Untuk menjaga kebugaran tubuh, assikalaibineng misalnya merekomendasikan di kamar tidur dan massage (pijitan) rutin pasca-bersetubuh. Sedangkam untuk perawatan kulit, juga tak perlu cream pelembab atau whitening motion,
Kitab ini mengajarkan manfaat penggunaan “air mani” sisa yang biasanya meleler di bagian luar babang urapa’ (vagina) istri dan kalamummu (zakar) pihak suami dan sejumlah mantra bugis-Arab, secara subtansial lebih merupakan niat, sekaligus ekspresi kasih-sayang suami kepada istri pasca-berhubungan,
Kitab ini menyindir perilaku suami yang langsung tidur lelap atau langsung meninggalkan kamar tidur, sementara istri belum mendapatkan kepuasan, biasanya akan membuat wanita terhina. Di kitab ini. Perlakuan itu diistilahkan dengan, teretta’na narekko le’ba mpusoni (adab
setelah persetubuhan).
“(h.75) . Rekko mangujuni ilao manimmu takabbereno wekka eppa/urape’ni alemu, nupassamangi makkeda; alhamdulillahahi nurung Muhammad habibillah./ nareko purano mualai wae, muteggoi bikka tellu, nareko purano, mualani minyak pasaula, musaularenggi kutawwamu apa napoleammengi dodong mupogaukangeki paimeng/Apa’ nasenggao manginggi’/ Aja mu papinrai gaumu denre purai mupogau, iya na ritu riyaseng temanginggi (hal. 157).
Kira, kira artinya bebasnya, jika air manimu sudah keluar maka bertakbirlah empat kali. Kemudian turunkan tubuhmu dan ucamkan hamdalah dan pujian ke nabi Muhammad. Jika engkau sudah melakuklannya, maka lakukanlah perbuatan yang menyenangkan perasaanya. (h.76) sebagai tanda sayang. Jika usai minumlahair dengan tiga tegukan, dan ambilah minyak gosokdan urutlah kelaminmu agar tubuhmu pulih kembali dan agar jagan sampai kalu lelah. Janganlah kamu mengubah perbuatanmu seperti yang kamu lakukan sebelumnya, demikianlah maka kamu akan disebut lelaki yang tidak merasa bosan dengan istrinya,”
Sedangkan tahapn selanjutnya, usai berhubungan, ambilah air mani dari liang fajri yang sudah bercampur dengan cairan perempuan. Letakakkanlah di telapak tangan mu, air mani dicampur dengan air liur dari langit-langit (sumur qalqautsar) suami, sebelum mengusap air mani tersebut ke tubuh istri, terlebih dulu membaca doa dengan lafalan bugis, “waddu waddi, mani-manikang”. Mani riparewe, tajang mapparewe, tajang riparewekki…” (hal.158)
Aiar mani basuhan ini bisa dipijitkan ke titik-tikik 12 rangsangan agar tidak kembeli berkerut, atau memijit bagian panggul dengan tulang kering di ujung bawah jari kelingking, untuk membuat tubuh istri tidak melar tapi tetap ceking.. (thamzil thahir)Tribun Timur | Rabu, 21 Januari 2009 | 03:07 WITA

Mau Anak Putih, Bersetubuh Setelah Jam 5 Subuh [Assikalaibineng, kamasutra versi bugis (6-selesai)]

January 22, 2009 - Bugis, ininnawa, Kitab, makassar, seks - 1 comment
TEKNIK bertahan dalam persetubvuhan menjadi hal yang sangat penting dan mendapat tempat khusus dalam Assikalaibineng. Dan sekali lagi, pihak suami menjadi faktor kunci.
Kitab peretubuhan Bugis ini tahu betul bahwa pihak suami senantiasa lebih cepat menyelesaikan hubungan ketimbang perempuan. Menenangkan diri, sabar, konsentrasi, dan memulai dengan kalimat taksim amat disarankan sebelum foreplay.
Pengen Dapat Duit Dengan NgeBlog? Daftar di Sini
Manuskrip Assikalaibineng amat mementingkan kualitas hubungan badan ketimbang frequensi atau multiorgasme. Assikalaibineng adalah ilmu menahan nafsu, melatih jiwa untuk tetap konsentrasi dan tak dikalahkan oleh hawa nafsu.
Namun pada intinya, Assikalaibineng bukanlah lelaku atau taswawwuf untuk berhubungan badan, lebih dari itu assikalaibnineng adalah tahapan awal untuk membuat anak yang cerdas, beriman, memiliki fisik yang sehat. Inti dari ajaran ini adalah bagaimana membuat generasi pelanjut yang sesuai tuntutan agama.
(h.151) Banyak teori seksualitas mengungkapkan bahwa potensi enjakulasi sebagai puncak kenikmatan seksual bagi laki-laki lebih tinggi ketimbang perempuan. Perbandingannya delapan kali untuk suami, dan satu kali bagi istri.
Bahkan, dapat saja seorang istri tidak pernah sekalipun merasakan orgasme seteles sekian kali, bahkan sekian lama hidup berumah tangga. “Assikalaibaineng, mengkalim bahwa ini terjadi karena pihak suami sama sekali tak tahu atau bahkan tak mau tahu dengan lelaku seks yang mengedepankan kualitas.”
Mengutip sebuah buku lelaku seks sesusi ajaran Islam, yang diterbitkan di Kuala Lumpur, dalam catatan kaki di halaman 164, Muhlis mengomentari “…Hampir 99 persen lemah syahwat (kelemahan nafsu jantan) adalah timbul dari sebab-sebab kerohanian. Emonde Boas, seorang dokter asal Amerika bahkan pernah melakukan penelitian, dari 1400 lelaki yang didata mengidap penyakit lemah syahwat, hanya tujuh yang lemah karena sebab-sebab jasmani, yang lainya karena sebab rohani atau psikologis,”
Dia melanjutkan, “kejiwaanlah yang menyebabkan faktir terbesar sekaligus penggerak seseorang melakukan hubungan seks, sedangkan tubuh dan alat reproduksi hanya merupakan alat pemuasan bagi melaksanakan kehidupan kejiwaan seseorang.
Sedangkan teknik mengelola nafas dengan zikir, cara penetrasi, dan menutup hubungan dengan pijitan ke sejumlah titik rangsangan perempuan, dan menemani istri tertidur dalam satu selimut atau sarung merupakan bentuk akhir menjaga kualitas hubungan.
Pengetahuan praktis seperti waktu yang baik dan kurang baik untuk berhubungan badan juga secara rinci diatur dalam kitab ini. “Tidak sepanjang satu malam menjadi masa yang tepat untuk bersetubuh.” (hal.166)
Terdapat keterkaitan waktu bersetubuh dengan kualitas anak yang terbuahi, seperti warna kulit anak. Untuk memperoleh anak yang berkulit putih, peretubuhan dilakukan
setelah isya. Untuk anak yang berkulit hitam, persetubuhan dilakukan tengah malam (sebelum shalat tahajjud), anak yang warna klitnya kemwerah-memerahan dilakukan antara Isya dan tengah malam.
Sedangkan untuk anak berkulit putih bercahaya, bersetubuhan dilakukan dengan memperkirakan berakhirnya masa terbit fajar di pagi hari. Atau lebih tepatnya dilakukan usai solat subuh, antara pukul 05.15 hingga pukul 06.00 jika itu waktu di Indonesia. Ini sekaligus supaya mempermudah mandi junub.
Secara khusus kitab ini adalah menuntut pihak suami sebagai inisiator dan mengingatkan kepada istri, agar menyesuaikan waktu tidur dengan keinginan melakukan persetubuhan. Sebab ternyata, persoalan waktu amat berdampak secara psikologis maupun biologis, terutama pihak istri.
Teks assikalaibineng secara spesifik menyebutkan adanya kaitan waktu tidur istri dengan ajakan suami bersetubuh.
Assikalaibineng A hal.72-73 menyebutkan, “bila suami mengajak istri berhubungan saat menjelang tidur, maka ia merasakan dirinya diperlakukan [penuh kasih sayang (ricirinnai) dan dihargai (ripakalebbiri). Akan tetapi jika istri sedang tidur pulas, lantas suami membangunkannya untuk bersetubuh, maka istri akan merasa diperlakukan laiknya budak seks, yang disitilahkan dengan ripatinro jemma’.
Soal bangun membangunkan istri yang tidur pulas, assikalaibineng juga memberikan cara efektif. Kitab ini sepertinya tahu betul, bahwa jika usai orgasme sang istri biasanya langsung tertidur. Untuk menuntnjukkan kasih sayang, maka usai berhubungan lelaki bisa mengambil air, lalu mercikkan satu dua tetas ke muka istri. Setelah istri terbangun, lelaki memberikan pijitan awal di antara kening, mata, menciumim ubun-ubun, memijit bagian panggul lalu bercakap-cakap sejenak. Percakapan ini bagi istri akan selalu diingat dan membuatnya. (thamzil thahir)Tribun Timur | Kamis, 22 Januari 2009 | 00:52 WITA

Jika Lima Menit Terasa Kurang [ASSIKALAIBINENG]


Jumat, 16 Januari 2009 | 04:53 WITA
RELASI dalam hubungan suami istri, menurut lontara Assikalabineng, merupakan relasi dua pihak yang sepadan dan saling membutuhkan.
Tidak boleh ada sedikit pun pemaksaan satu sama lain dalam hubungan seksual. Praktik melampiaskan hasrat di saat istri sedang tertidur lelap, malah dianggap sebagai bentuk penghinaan. Ini digambarkan seolah-olah istri diperlakukan sebagai budak dan bukan mahluk yang patut dijaga dan disayangi.
Penekanan pada pemaksaan beberapa kali disebutkan dalam lontara Assikalabineng, meski secara mutlak disebutkan pula bahwa suami merupakan “pengatur irama” dan “pemegang kendali” dari seluruh proses hubungan intim itu.
Karena itu, suami sebagai subyek dan istri sebagai obyek, sedapat mungkin mengarahkan hubungan itu pada kenikmatan bersama. Kegagalan memberi kenikmatan bersama di tempat tidur bisa membuat suami digelari orowane bonggo atau lelaki yang dungu. Sebaliknya, laki-laki yang mampu membuat istrinya puas, disebut sebagai orowane mapata, suami yang cerdas.
“Demikianlah yang disebut laki-laki yang berpenetahuan terhadap istrinya. Jika tidak demikian halnya, maka itulah yang dinamakan perilaku laki-laki dungu yang membosankan.” (halaman 120-121).
Masalahnya kemudian adalah, pada umumnya suami hanya bisa menjalani hubungan seksual rata-rata tidak lebih dalam lima menit. Sedangkan pada rentang waktu itu, si istri malah belum bisa merasakan puncak kepuasaan. Atas kendala itulah, terletak fungsi pengetahuan yang terdapat dalam lontara Assikalabineng.
Assikalabineng sangat menuntut si suami mengetahui teknik-teknik foreplay. “Lakukanlah tidur bersama dalam satu sarung dan melakukannya terlebih dahulu, istri akan merasa dirinya dimuliakan. Kemudian lanjutkan tidur dalam satu sarung…. Itu berarti kamu melakukan perbuatan yang membangkitkan gairahnya”. (halaman 94).
Selanjutnya ada tahap yang harus dilakukan (halaman 104). “Peganglah pusarnya. Jengkalkan tanganmu, ibu jarimu dipusarnya dan kelingkingmu di farjinya. Bila tampak bagimu nafsunya telah bangkit maka berilah penciuman dua belas. Pertama-tama, ciumlah ubun-ubunnya…”
Hingga kemudian terjadilah orgasme. “Jika dia mencapai orgasme, janganlah melepasnya sebab dia sedang mencapai puncak kenikmatan.. ( nalolongennitu rennue makkunraiyye enrengnge nyamengnge. Alliangngani aja’na mulappessangngi).” (halaman 73).
Assikalabineng pun menjelaskan cara merangsang pada titik peka di tubuh istri. Cara yang dimaksud antara lain memegang perut, mencium ubun-ubun, mencium pipi, mencium pangkal leher, dan mencium farji.
Ada 12 titik rangsangan pada tubuh si perempuan yakni ubun-ubun (buwung), telinga (docciling), perantara kening (lawa enning), mata (mata), pipi (pili), hidung (inge’), dagu (sadang), pangkal leher (edda’), tengkuk (cekkong), telapak tangan (pale’ lima), buah dada (pangolo), dan pusar (posi).
Sedangkan pada laki-laki ada tiga titik rangsangan yakni mulut (timu), tangan (jari), dan zakar (kalamung). Tiga titik rangsangan ini juga dapat dijadikan sebagai alat untuk merangsang perempuan. Bila ketiga alat itu dikombinasikan pergerakannya pada titik rangsangan perempuan maka akan membangkitkan sensasi yang luar biasa.
Yang tak kalah menarik dari Assikalabineng yakni mengandung informasi bahwa pola seksual akan berpengaruh pada kualitas fisik anak yang dilahirkan. Suara yang merdu, sikap yang jantan, mata yang memikat, bisa dipersiapkan sejak dini di tempat tidur.(amir pr)

Di Mana Pusat Rangsangan Tertinggi [ASSIKALAIBINENG]


Sabtu, 17 Januari 2009 | 04:00 WITA
PENGANTAR REDAKSI: Sejak pertama kali dipublikasikan Tribun, Rabu (14/1) lalu, buku Kamasutra versi Bugis, Assikalabineng, Kitab Persetubuhan Bugis, terus dicari. Seluruh kanal dan akses komunikasi ke Tribun, berisi pesan seragam.
Melalui jalur SMS, pertanyaan praktis, “Di mana penjualnya dan berapa harganya?”.
Via ponsel ada yang memelas, “Tolong kodong, ada sahabatku yang mau menikah. Berapa pun harganya, saya akan bayar, ini untuk hadiah”.
Bahkan pramuniaga tiga gerai buku Gramedia di
Makassar, terpaksa “harus” mengecewakan pelanggannya.
Dengan pertimbangan, buku terbitan Ininnawa ini masih dalam proses menunggu launching, serta animo pembaca yang membeludak, Kamasutra versi Bugis ini kami lanjutkan. Kali ini lebih menukik kepada
trik dan tips yang bisa langsung digunakan dengan sekali baca.
ASSAKALABINENG adalah kumpulan manuskrip Lontara asli yang dikumpulkan, diterjemahkan, lalu diolah oleh filolog lontara dari Univeritas Hasanuddin (Unhas), Muhlis Hadrawi, menjadi bacaan dan pengetahuan yang siap dipraktikkan.
Di bagian awal buku yang didedikasikan sebagai tesis untuk meraih gelar master di Universitas Indonesia (UI) ini, penulis menyebutkan ada 44 naskah Lontara yang dipakai sebagai rujukan utama.
Sebanyak 28 teks beraksara Bugis dan 16 sisanya manuskrip lontara Makassar. “Aksaranya macam-macam, ada sulapa eppa, serang, dan jangang-jangang.” (hal.10)
Tak mengherankan, tips, trik, sekaligus mantra yang disajikan pun bervariasi, namun pada intinya sama, dan menyesuaikan dengan kultur Bugis pesisir atau Makassar pedalaman.
Seperti proses seleksi hadis, penulis memaparkannya utuh dan menganalisanya.
Dalam naskah Bunga Rampai Budaya, yang berisi, “tata cara mandi junub, sebelum melakuklan hubungan seks untuk membangkitkan gairah wanita serta doa-doanya, dan tata cara agar awet muda setelah berhubungan seks,” misalnya, diperoleh dari manuskrip tua 52 halaman yang disalin dari pemilik aslinya, Amiruddin, warga Paccerakkang.
Secara teratur buku ini mengklasifikasi titik-titik rangsangan perempuan, manfaat mandi sebagai foreplay atau siklus perubahan titik rangsangan wanita yang berubah sesuai siklus haid, dan hari di masa subur istri, dan siklus mani perempuan yang berpindah-pindah.
Di mana titik mani berada, maka di situlah pusat rangsangan tertinggi, dan akan membuat pasangan suami istri menggelinjang, laiknya gerakan pangkal ekor ikan mujair di lumpur berair.
“Inilah pengetahuan dari Baginda Ali ketika hendak berhubungan dengan Fatimah/Malam jumat dia mencium ubun-ubun sebab di situlah maninya berada/ Sabtu dia mencium kepalanya, sebab di situlah maninya berada/ malam Ahad, Ali mencium mata Fatimah sebab di situlah maninya berada/malam Senin diciuminya perantara keningnya….//
Di manuskrip lain, disebutkan tujuh titik rangsangan yang menjadi daerah sensasi selama peredaran malam; pertama, Ubun-ubun (buwung) di malam Jumat; dua, kepala (ulu) di malam Sabtu; ketiga, mata (mata) di malam Ahad; keempat, perantara alis (lewa enning) di malam Senin; kelima, hidung (inge’) di malam Selasa; keenam, buah dada (pangolo) di malam Rabu; dan ketujuh, ulu hati (ulu ati) di malam Kamis.
Ketujuh pusat rangsangan itu adalah bagian dari dua belas sensasi seksual perempuan.
“Efek rangsangan terbaik bila dilakukan pada rangkaian titik peka itu, diraba, lalu selalu diiringi ciuman, sebelum masuk ke tahap penetrasi, yang diikuti beberapa mantra dalam bahasa Arab adan Lontara.(thamzil thahir)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar