Minggu, 27 September 2015

Mana Yang Benar



Manakah yang benar cara berdzikir sesudah shalat, dengan cara bersama-sama (kur) atau sendiri-sendiri? Dan mengeraskan suara atau tidak?

Ada dua permasalahan yang harus diuraikan dalam pertanyaan ini :
• Pertama : Mana yang paling utama berdzikir secara bersama atau sendiri-sendiri.
• Kedua : Apakah disyariatkan mengeraskan suara ketika berdzikir atau tidak.
Adapun jawaban untuk masalah yang pertama, kami persilahkan untuk menyimak fatwa-fatwa berikut ini :
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya sebagai berikut :
"Apakah do'a imam dan makmum setelah sholat wajib boleh atau tidak ?"
Beliau menjawab :"Alhamdulillah, adapun do'anya imam dan makmum secara bersama setelah sholat adalah (perkara) bid'ah tidak pernah ada di masa Nabi shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam. Do'a beliau hanya di pertengahan sholat, karena orang yang sholat bermunajat kepada Rabb-nya, sehingga kalau ia berdo'a saat bermunajat kepada-Nya itu sangatlah cocok. Adapun do'a setelah selesai bermunajat dan menghadap kepada-Nya tidaklah cocok dan yang disunnahkan setelah sholat hanyalah berdzikir dengan yang ma'tsur (ada riwayatnya) dari Nabi shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam berupa tahlil, tahmid dan takbir …..". Lihat : Majmu' Al-Fatawa 22/519-520
Dan pada jilid 22 hal. 512, beliau berkata : "Tidaklah Nabi shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam dan para makmum berdo'a setelah sholat lima waktu sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang setelah sholat fajr dan ashar, hal tersebut tidaklah dinukil dari seorang pun dan tidak pula disunnahkan oleh seorang pun dari kalangan para Imam dan siapa yang menukil dari Asy-Syafi'iy bahwa ia menganggapnya sunnah sungguh ia telah salah, karena lafazh beliau (Imam Syafi'iy-pent.) yang ada di buku-buku beliau menafikan hal tersebut dan demikian pula Ahmad dan selainnya dari para Imam, mereka tidak menganggapnya sunnah …."
Dan dalam pertanyaan kedua pada fatwa no. 3552 dari lembaga fatwa ulama besar Saudi Arabiyah yang dijawab dan ditanda tangani oleh Syeikh 'Abdul 'Aziz bin Baz rahimahullah, Syeikh 'Abdurrazzaq 'Afify rahimahullah,
Syeikh 'Abdullah bin Ghudayyan hafizhohullahu dan Syiekh 'Abdullah bin Qu'ud hafizhohullahu, disebutkan sebagai berikut :
Pertanyaan : Membaca Al-Qur`an dan berdo'a secara berjama'ah setelah sholat wajib, apakah sunnah atau bid'ah ?
Jawab : Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam dan sejelek-jelek perkara adalah sesuatu yang diada-adakan. Dan para Khulafaurrasyidin dan para shahabat beliau telah menerima petunjuk beliau shollallahu 'alaihi wa alaihi wa sallam dan beramal dengannya serta menyampaikannya kepada orang setelah mereka. Dan petunjuk beliau adalah berdzikir kepada Allah dan berdo'a seorang diri, dan tidaklah beliau shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam meminta seorangpun dari para shahabat untuk berkumpul dengannya kemudian beliau berdo'a dengan orang-orang yang bersamanya secara berjama'ah. Dan apa yang dilakukan oleh sebagian orang dengan membaca Al-Fatihah dan berdo'a secara berjama'ah setelah sholat merupakan perkara bid'ah. Dan telah tsabit (tetap, pasti) dari Rasulullah shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam bahwa beliau bersabda :
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ. (خرجه مسلم في صحيحه)
"Siapa yang berbuat suatu amalan yang tidak berada di atas perkara (syari'at) kami maka ia tertolak". (Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam Shohih-nya).
Dan asal (hadits ini) dalam (riwayat) Ash-Shohihain dari 'Aisyah radhiallahu 'anha dari Nabi shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam sesungguhnya beliau bersabda :
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
"Siapa yang membuat perkara baru dalam agama kami ini, apa-apa yang bukan darinya maka ia tertolak".
Dan hadits-hadits semakna dengan ini sangatlah banyak. Dan tidaklah menjadi baik akhir dari ummat ini kecuali dengan apa-apa yang menjadikan awal dari mereka baik dengannya, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Malik bin Anas rahimahullah dan selain beliau dari Ahlul 'ilmi. Wabillahit taufiq. Washollallahu 'ala nabiyyina Muhammad wa 'ala alihi wa shohbihi wasallam."
Dan pada pertanyaan ketiga dalam fatwa no.2251 disebutkan sebagai berikut " "Manusia berselisih tentang berdo'a dengan cara berjama'ah setelah sunnah-sunnah rawatib. Sebagian orang berkata : "Tidak dinukil sesuatu pun tentang hal tersebut dari Nabi shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam dan tidak (pula) dari sahabatnya, dan andaikata itu adalah suatu kebaikan, maka tentunya mereka telah mendahului kita dalam mengerjakannya karena mereka adalah manusia yang paling bersemangat dalam mengikuti kebenaran. Dan sebagian orang berkata : "Berdo'a dengan cara berjama'ah setelah sunnah-sunnah rawatib adalah mustahab (disukai) dan mandub (dianjurkan) bahkan masnun (disunnahkan) karena ia merupakan dzikir dan ibadah dan setiap dzikir dan ibadah paling sedikitnya adalah merupakan mustahab atau masnun. Dan mereka mencela orang-orang yang tidak menunggu do'a dan (langsung) berdiri setelah sholat".
Jawab : "Do'a adalah ibadah dari bentuk-bentuk ibadah dan ibadah-ibadah itu dibangun diatas At-Tauqif (tidak boleh dilakukan kecuali dengan dalil-pent.) dan tidak boleh dikatakan bahwa ini adalah ibadah yang disyari'atkan, baik dari sisi asalnya, bilangannya, bentuknya maupun tempatnya (waktu dan tempatnya-pen), kecuali dengan dalil syar'iy yang menunjukkan hal tersebut dari nabi shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam baik dari perkataan, perbuatan atau taqrir (penetapan, persetujuan) dari beliau yang menunjukkan apa yang disangka oleh kelompok kedua. dan segala kebaikan adalah dengan mengikuti petunjuk beliau shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam. Dalam bab ini tetap tsabit (tetap,pasti) dengan dalil-dalil yang menunjukkan apa yang beliau lakukan setelah salam dan telah berlalu para khalifah yang mengikuti mereka dengan baik setelah mereka. Dan siapa yang membuat perkara baru menyelisihi petunjuk Rasul shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam maka ia adalah tertolak. Beliau shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam bersabda :

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
"siapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak diatas perkara (syari'at) kami, maka ia adalah tertolak".
Maka imam yang berdo'a setelah salam dan do'anya diaminkan oleh para makmum dan semuanya mengangkat tangan, dimintai dalil yang menetapkan perbuatannya dan kalau ia tidak mempunyai dalil, maka amalannya tertolak dan demikian pula orang mengerjakan hal tersebut setelah sholat nafilah (sholat sunnah) dimintai dalil sebagaimana firman Allah pada yang seperti ini
قُلْ هَاتُوْا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِيْنَ
"Katakanlah : Berikanlah bukti kalian jika memang kalian benar". (QS.Al-Baqarah : 111)
Dan kami tidak mengetahui adanya satu dalilpun dari Al-Kitab dan tidak pula dari sunnah yang menunjukkan disyari'atkannya apa yang disangka oleh kelompok kedua ini berupa do'a dan dzikir berjama'ah dengan bentuk yang disebutkan dalam pertanyaan. Wabillahit taufiq. Washollallahu 'ala nabiyyina Muhammad wa 'ala alihi wa shohbihi wasallam.
Dan pada pertanyaan pertama dalam fatwa no.3901 yang dijawab oleh syaikh Ibnu Baz rahimahullah, Abdullah bin Ghudayyah hafizhohullahu dan Abdullah bin Qu'ud hafizhohullahu, disebutkan sebagai berikut. Pertanyaan :"Apakah do'a setelah sholat fardhu adalah sunnah dan apakah do'a dibarengi dengan mengangkat tangan dan apakah diangkat bersama imam lebih utama atau tidak ?" Jawab : "Do'a setelah sholat fardhu bukanlah sunnah kalau hal tersebut dengan mengangkat tangan baik dari Imam sendiri atau dari makmum sendiri atau dari keduanya secara bersama (berjamaah), bahkan itu adalah bid'ah, karena tidak pernah dinukil dari Nabi shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam dan tidak (pula) dan para sahabatnya, adapun do'a (sendiri-sendiri-pen.) tanpa mengangkat tangan itu tidaklah apa-apa karena warid dalam sebagian hadits tentang hal tersebut. Wabillahit taufiq.
Washollallahu 'ala nabiyyina Muhammad wa 'ala alihi wa shohbihi wasallam.
Adapun masalah kedua jawabannya sebagai berikut :
Imam An-Nawawy dalam Syarah Muslim 5/117 (cet. Mu'assasah Qurthubah) menyebutkan ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama tentang hukum mengeraskan dzikir setelah sholat fardhu :
1. Sebagian para ulama salaf menganggap hal tersebut adalah sunnah dan ini juga pendapat Ibnu Hazm Azh-Zhohiry.
2. Ibnu Baththol dan yang lainnya menukil bahwa para pengikut madzhab fiqh dan selain mereka telah sepakat tentang tidak disunnahkannya mengangkat suara dengan dzikir maupun takbir.
3. Berkata Imam Syafi'iy : "Saya memilih bagi imam dan makmum untuk berdzikir kepada Allah Ta'ala setelah selesai sholat dan keduanya menyembunyikan (baca : tidak mengeraskan) hal tersebut, kecuali seorang imam yang hendak diambil pelajaran darinya, maka ia mengeraskan sehingga diketahui (hal tersebut) kemudian ia menyembunyikannya".
Para Ulama yang menganggap sunnahnya mengeraskan dzikir, mereka berdalilkan hadits riwayat Bukhary dan Muslim dari jalan Ibnu Juraij dari 'Amr bin Dinar dari Abu Ma'bad dari Ibnu 'Abbas, beliau berkata :
إِنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِيْنَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوْبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ. وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ : كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوْا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ.
"Sesungguhnya mengangkat suara ketika berdzikir saat manusia selesai dari sholat wajib, ada di masa Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam, dan Ibnu 'Abbas berkata : Saya mengetahui mereka selesai dengan hal tersebut bila saya mendengarnya".
Kalimat "berdzikir" menurut pandangan para 'ulama di atas adalah kalimat yang umum sehingga mencakup segala jenis dzikir. Tapi pendalilan ini kurang kuat, karena hadits ini diriwayatkan pula oleh Bukhary dan Muslim dengan lafadz lain dari jalan Sufyan bin 'Uyainah dari Amr bin Dinar dari Abu Ma'bad dari Ibnu 'Abbas, beliau berkata (dari lafadz hadits Muslim) :
مَا كُنَّا نَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلاَةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ إِلاَّ بِالتَّكْبِيْرِ
"kami tidak mengetahui selesainya sholat Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam, kecuali dengan (mendengar) takbir".
Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bary 2/326 : "Perkataan beliau "dengan mendengar takbir" lebih khusus dari riwayat Ibnu Juraij yang sebelumnya karena "Dzikir" lebih umum dari "takbir" dan mungkin riwayat ini menafsirkannya sehingga diinginkan dengan mengeraskan suara dengan "dzikir" adalah dengan "takbir"".
Maka yang benar dalam hadits Ibnu 'Abbas ini adalah mengangkat suara pada takbir saja, bukan pada dzikir secara umum. Kami menguatkan hal ini berdasarkan tiga alasan :
1. Riwayat "takbir" lebih kuat dari riwayat "dzikir" karena Sufyan Ibnu 'Uyainah lebih kuat dari Ibnu Juraij dalam meriwayatkan hadits dari Amr bin Dinar. Lihat Syarah 'Ilal At-Tirmidzy 2/684-685 tahqiq Dr. Hammam.
2. Apabila ada dua kalimat yang berbeda ; ada yang umum dan ada yang khusus dan dua kalimat ini berasal dari satu hadits yang sama makhrajnya (perputaran sanadnya), maka pengertian kalimat yang umum dikembalikan ke kalimat yang khusus. Demikian dikatakan oleh Ibnu Daqiqil 'Ied dan lain-lainnya dari para Ulama ahli ushul fiqh.
Maka demikian pula dalam hadits ini, kalimat "dzikir" lebih umum dari kalimat "takbir". Karena perputaran hadits ini satu yaitu Amr bin Dinar dari Abu Ma'bad dari Ibnu 'Abbas, maka kalimat "dzikir" dikembalikan maknanya ke kalimat "takbir" sehingga bisa disimpulkan bahwa yang diinginkan dengan "dzikir" itu adalah "takbir" saja. Wallahu A'lam.
3. Lafadz riwayat Muslim yang kami sebutkan di atas dengan bentuk hashr (pembatasan) sehingga semakin menguatkan bahwa hanya "takbir" saja yang disyari'atkan untuk diucapkan dengan mengangkat suara setelah sholat. Wallahu A'lam.
Adapun selain takbir, dalil-dalil dari Al-Qur`an dan Sunnah menunjukkan bahwa dzikir tidak dikeraskan. Banyak dalil yang menunjukkan hal tersebut diantaranya :
Allah Ta'ala berfirman dalam surat Al-A'raf ayat 205 :
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِيْ نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيْفَةً وَدُوْنَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ وَلاَ تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِيْنَ
"Dan sebutlah (nama) Rabb-mu pada dirimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara di waktu pagi dan petang dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai".
Berkata Ibnu Katsir :" dan demikianlah disunnahkan bahwa dzikir itu tidak berupa teriakan atau suara keras berlebihan ".
Dan Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda :
أَيُّهَا النَّاسُ اِرْبَعُوْا عَلَى أَنْفُسِكُمْ إِنَّكُمْ لَيْسَ تَدْعُوْنَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا إِنَّكُمْ تَدْعُوْنَ سَمِيْعًا قَرِيْبًا وَهُوَ مَعَكُمْ
"Wahai sekalian manusia kuasailah diri-diri kalian dan rendahkan suara kalian. Karena kalian tidak berdo'a kepada yang tuli dan tidak ada. sesungguhnya kalian berdo'a kepada Yang maha mendengar dan maha dekat dan Dia bersama kalian "
(HSR. Bukhary-Muslim dari Abu Musa Al-Asy'ary radhiyallahu 'anhu)
Dan dalam hadits Abu Sa'id Al-Khudry, Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda :

أَلاَ إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ فَلاَ يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا وَلاَ يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْقِرَاءَةِ أَوْ قَالَ فِي الصَّلاَةِ
"Ketahuilah bahwa setiap dari kalian bermunajat kepada Rabbnya, maka jangan sekali-sekali sebagian dari kalian mengganggu sebagian yang lain dan jangan (pula) sebagian dari kalian mengangkat suaranya terhadap sebagian yang lain dalam membaca atau beliau berkata dalam sholat".
(HR. Ahmad 3/94, Abu Daud no. 1332, An-Nasa`i dalam Al-Kubro 5/32, Ibnu Khuzaimah no. 1162, Abdu bin Humaid no. 883, Al-Hakim 1/454, Al-Baihaqy 3/11 dan dalam Syu'abul Iman 2/543 dan Ibnu 'Abdil Barr dalam At-Tamhid 23/318 dishohihkan oleh syeikh muqbil rahimahullah diatas syarat Asy-Syaikhain dalam Ash-Shohih Al-Musnad Mimma Laisa Fii Ash-Shohihain).
Dan Syeikhuna Muqbil Al-Wadi'iy rahimahullah dalam kitab Ijabah As-Sa`il hal.79, menyebutkan beberapa dampak yang kurang baik dari mengeraskan dzikir, diantaranya :
1.      Orang yang berdzikir akan terganggu oleh dzikir yang lain jika semuanya mengangkat suara khususnya kalau susunan dzikirnya berbeda-beda.
2.      Akan mengganggu orang-orang yang masbuq.
3.      Mengganggu orang yang melakukan sholat sunnah bagi orang sholat sunnah setelah sholat wajib tanpa dzikir karena ada keperluan yang mendesak atau yang lainnya. Wallahu A'lam.
Kesimpulan :
Dzikir tidak dijaharkan (tidak dikeraskan) setelah sholat fardhu kecuali ucapan takbir disunnahkan untuk mengeraskannya.
Pelengkap : Ucapan takbir adalah mengucapkan Allahu Akbar dan tidak disebutkan dalam hadits berapa kali takbir ini diucapkan, karena itu takbir boleh diucapkan beberapa kali tanpa terbatas tapi utamanya dengan urutan bilangan ganjil. Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah riwayat Bukhary-Muslim, Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda :

إِنَّ اللهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ
"Sesungguhnya Allah itu tunggal, menyenangi bilangan ganjil".


Tidak ada komentar:

Posting Komentar