Manakah yang
benar cara berdzikir sesudah shalat, dengan cara bersama-sama (kur) atau sendiri-sendiri? Dan
mengeraskan suara atau tidak?
Ada dua permasalahan yang harus diuraikan dalam pertanyaan ini :
•
Pertama : Mana yang paling utama berdzikir
secara bersama atau sendiri-sendiri.
• Kedua : Apakah
disyariatkan mengeraskan suara ketika berdzikir atau tidak.
Adapun jawaban
untuk masalah yang pertama, kami persilahkan untuk menyimak fatwa-fatwa berikut
ini :
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah ditanya sebagai berikut :
"Apakah
do'a imam dan makmum setelah sholat wajib boleh atau tidak ?"
Beliau menjawab :"Alhamdulillah,
adapun do'anya imam dan makmum secara bersama setelah sholat adalah (perkara)
bid'ah tidak pernah ada di masa Nabi shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam.
Do'a beliau hanya di pertengahan sholat, karena orang yang sholat bermunajat
kepada Rabb-nya, sehingga kalau ia berdo'a saat bermunajat kepada-Nya itu
sangatlah cocok. Adapun do'a setelah selesai bermunajat dan menghadap
kepada-Nya tidaklah cocok dan yang disunnahkan setelah sholat hanyalah
berdzikir dengan yang ma'tsur (ada
riwayatnya) dari Nabi shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam berupa tahlil,
tahmid dan takbir …..". Lihat : Majmu' Al-Fatawa 22/519-520
Dan pada jilid
22 hal. 512, beliau berkata : "Tidaklah Nabi shollallahu 'alaihi wa alihi
wa sallam dan para makmum berdo'a setelah sholat lima waktu sebagaimana yang
dilakukan oleh sebagian orang setelah sholat fajr dan ashar, hal tersebut
tidaklah dinukil dari seorang pun dan tidak pula disunnahkan oleh seorang pun
dari kalangan para Imam dan siapa yang menukil dari Asy-Syafi'iy bahwa ia
menganggapnya sunnah sungguh ia telah salah, karena lafazh beliau (Imam
Syafi'iy-pent.) yang ada di buku-buku beliau menafikan hal tersebut dan
demikian pula Ahmad dan selainnya dari para Imam, mereka tidak menganggapnya
sunnah …."
Dan dalam
pertanyaan kedua pada fatwa no. 3552 dari lembaga fatwa ulama besar Saudi
Arabiyah yang dijawab dan ditanda tangani oleh Syeikh 'Abdul 'Aziz bin Baz
rahimahullah, Syeikh 'Abdurrazzaq 'Afify rahimahullah,
Syeikh
'Abdullah bin Ghudayyan hafizhohullahu dan Syiekh 'Abdullah bin Qu'ud
hafizhohullahu, disebutkan sebagai berikut :
Pertanyaan : Membaca
Al-Qur`an dan berdo'a secara berjama'ah setelah sholat wajib, apakah sunnah
atau bid'ah ?
Jawab : Sebaik-baik
petunjuk adalah petunjuk Muhammad shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam dan
sejelek-jelek perkara adalah sesuatu yang diada-adakan. Dan para
Khulafaurrasyidin dan para shahabat beliau telah menerima petunjuk beliau
shollallahu 'alaihi wa alaihi wa sallam dan beramal dengannya serta
menyampaikannya kepada orang setelah mereka. Dan petunjuk beliau adalah
berdzikir kepada Allah dan berdo'a seorang diri, dan tidaklah beliau
shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam meminta seorangpun dari para shahabat
untuk berkumpul dengannya kemudian beliau berdo'a dengan orang-orang yang
bersamanya secara berjama'ah. Dan apa yang dilakukan oleh sebagian orang dengan
membaca Al-Fatihah dan berdo'a secara berjama'ah setelah sholat merupakan
perkara bid'ah. Dan telah tsabit (tetap, pasti) dari Rasulullah shollallahu
'alaihi wa alihi wa sallam bahwa beliau bersabda :
مَنْ
عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ. (خرجه مسلم في صحيحه)
"Siapa
yang berbuat suatu amalan yang tidak berada di atas perkara (syari'at) kami
maka ia tertolak". (Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam Shohih-nya).
Dan asal
(hadits ini) dalam (riwayat) Ash-Shohihain dari 'Aisyah radhiallahu 'anha dari
Nabi shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam sesungguhnya beliau bersabda :
مَنْ
أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
"Siapa
yang membuat perkara baru dalam agama kami ini, apa-apa yang bukan darinya maka
ia tertolak".
Dan
hadits-hadits semakna dengan ini sangatlah banyak. Dan tidaklah menjadi baik
akhir dari ummat ini kecuali
dengan apa-apa yang menjadikan awal dari mereka baik dengannya, sebagaimana
yang dikatakan oleh Imam Malik bin Anas rahimahullah dan selain beliau dari
Ahlul 'ilmi. Wabillahit taufiq. Washollallahu 'ala nabiyyina Muhammad wa 'ala
alihi wa shohbihi wasallam."
Dan pada
pertanyaan ketiga dalam fatwa no.2251 disebutkan sebagai berikut " "Manusia berselisih tentang berdo'a
dengan cara berjama'ah setelah sunnah-sunnah rawatib. Sebagian orang berkata :
"Tidak dinukil sesuatu pun tentang hal tersebut dari Nabi shollallahu
'alaihi wa alihi wa sallam dan tidak (pula) dari sahabatnya, dan andaikata itu
adalah suatu kebaikan, maka tentunya mereka telah mendahului kita dalam
mengerjakannya karena mereka adalah manusia yang paling bersemangat dalam
mengikuti kebenaran. Dan sebagian orang berkata : "Berdo'a dengan cara
berjama'ah setelah sunnah-sunnah rawatib adalah mustahab (disukai) dan mandub
(dianjurkan) bahkan masnun (disunnahkan) karena ia merupakan dzikir dan ibadah
dan setiap dzikir dan ibadah paling sedikitnya adalah merupakan mustahab atau
masnun. Dan mereka mencela orang-orang yang tidak menunggu do'a dan (langsung)
berdiri setelah sholat".
Jawab : "Do'a adalah ibadah dari bentuk-bentuk ibadah dan ibadah-ibadah itu dibangun diatas At-Tauqif (tidak boleh dilakukan kecuali dengan dalil-pent.) dan tidak boleh dikatakan bahwa ini adalah ibadah yang disyari'atkan, baik dari sisi asalnya, bilangannya, bentuknya maupun tempatnya (waktu dan tempatnya-pen), kecuali dengan dalil syar'iy yang menunjukkan hal tersebut dari nabi shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam baik dari perkataan, perbuatan atau taqrir (penetapan, persetujuan) dari beliau yang menunjukkan apa yang disangka oleh kelompok kedua. dan segala kebaikan adalah dengan mengikuti petunjuk beliau shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam. Dalam bab ini tetap tsabit (tetap,pasti) dengan dalil-dalil yang menunjukkan apa yang beliau lakukan setelah salam dan telah berlalu para khalifah yang mengikuti mereka dengan baik setelah mereka. Dan siapa yang membuat perkara baru menyelisihi petunjuk Rasul shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam maka ia adalah tertolak. Beliau shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam bersabda :
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Jawab : "Do'a adalah ibadah dari bentuk-bentuk ibadah dan ibadah-ibadah itu dibangun diatas At-Tauqif (tidak boleh dilakukan kecuali dengan dalil-pent.) dan tidak boleh dikatakan bahwa ini adalah ibadah yang disyari'atkan, baik dari sisi asalnya, bilangannya, bentuknya maupun tempatnya (waktu dan tempatnya-pen), kecuali dengan dalil syar'iy yang menunjukkan hal tersebut dari nabi shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam baik dari perkataan, perbuatan atau taqrir (penetapan, persetujuan) dari beliau yang menunjukkan apa yang disangka oleh kelompok kedua. dan segala kebaikan adalah dengan mengikuti petunjuk beliau shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam. Dalam bab ini tetap tsabit (tetap,pasti) dengan dalil-dalil yang menunjukkan apa yang beliau lakukan setelah salam dan telah berlalu para khalifah yang mengikuti mereka dengan baik setelah mereka. Dan siapa yang membuat perkara baru menyelisihi petunjuk Rasul shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam maka ia adalah tertolak. Beliau shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam bersabda :
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
"siapa
yang beramal dengan suatu amalan yang tidak diatas perkara (syari'at) kami,
maka ia adalah tertolak".
Maka imam yang
berdo'a setelah salam dan do'anya diaminkan oleh para makmum dan semuanya
mengangkat tangan, dimintai dalil yang menetapkan perbuatannya dan kalau ia
tidak mempunyai dalil, maka amalannya tertolak dan demikian pula orang
mengerjakan hal tersebut setelah sholat nafilah (sholat sunnah) dimintai dalil
sebagaimana firman Allah pada yang seperti ini
قُلْ
هَاتُوْا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِيْنَ
"Katakanlah
: Berikanlah bukti kalian jika memang kalian benar". (QS.Al-Baqarah : 111)
Dan kami tidak
mengetahui adanya satu dalilpun dari Al-Kitab dan tidak pula dari sunnah yang
menunjukkan disyari'atkannya apa yang disangka oleh kelompok kedua ini berupa
do'a dan dzikir berjama'ah dengan bentuk yang disebutkan dalam pertanyaan.
Wabillahit taufiq. Washollallahu 'ala nabiyyina Muhammad wa 'ala alihi wa
shohbihi wasallam.
Dan pada
pertanyaan pertama dalam fatwa no.3901 yang dijawab oleh syaikh Ibnu Baz rahimahullah, Abdullah bin
Ghudayyah hafizhohullahu dan Abdullah bin Qu'ud hafizhohullahu, disebutkan
sebagai berikut. Pertanyaan :"Apakah
do'a setelah sholat fardhu adalah sunnah dan apakah do'a dibarengi dengan
mengangkat tangan dan apakah diangkat bersama imam lebih utama atau tidak
?" Jawab : "Do'a
setelah sholat fardhu bukanlah sunnah kalau hal tersebut dengan mengangkat
tangan baik dari Imam sendiri atau dari makmum sendiri atau dari keduanya
secara bersama (berjamaah), bahkan itu adalah bid'ah, karena tidak pernah
dinukil dari Nabi shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam dan tidak (pula) dan
para sahabatnya, adapun do'a (sendiri-sendiri-pen.) tanpa mengangkat tangan itu
tidaklah apa-apa karena warid dalam sebagian hadits tentang hal tersebut.
Wabillahit taufiq.
Washollallahu
'ala nabiyyina Muhammad wa 'ala alihi wa shohbihi wasallam.
Adapun masalah
kedua jawabannya sebagai berikut :
Imam An-Nawawy
dalam Syarah Muslim 5/117 (cet. Mu'assasah Qurthubah) menyebutkan ada perbedaan
pendapat dikalangan para ulama tentang hukum mengeraskan dzikir setelah sholat
fardhu :
1. Sebagian
para ulama salaf menganggap hal tersebut adalah sunnah dan ini juga pendapat
Ibnu Hazm Azh-Zhohiry.
2. Ibnu
Baththol dan yang lainnya menukil bahwa para pengikut madzhab fiqh dan selain
mereka telah sepakat tentang tidak disunnahkannya mengangkat suara dengan
dzikir maupun takbir.
3. Berkata Imam
Syafi'iy : "Saya memilih bagi imam dan makmum untuk berdzikir kepada Allah
Ta'ala setelah selesai sholat dan keduanya menyembunyikan (baca : tidak
mengeraskan) hal tersebut, kecuali seorang imam yang hendak diambil pelajaran
darinya, maka ia mengeraskan sehingga diketahui (hal tersebut) kemudian ia
menyembunyikannya".
Para Ulama yang
menganggap sunnahnya mengeraskan dzikir, mereka berdalilkan hadits riwayat
Bukhary dan Muslim dari jalan Ibnu Juraij dari 'Amr bin Dinar dari Abu Ma'bad
dari Ibnu 'Abbas, beliau berkata :
إِنَّ
رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِيْنَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوْبَةِ
كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ. وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ : كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا
انْصَرَفُوْا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ.
"Sesungguhnya
mengangkat suara ketika berdzikir saat manusia selesai dari sholat wajib, ada
di masa Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam, dan Ibnu 'Abbas
berkata : Saya mengetahui mereka selesai dengan hal tersebut bila saya
mendengarnya".
Kalimat "berdzikir" menurut
pandangan para 'ulama di atas adalah kalimat yang umum sehingga mencakup segala
jenis dzikir. Tapi pendalilan ini kurang kuat, karena hadits ini diriwayatkan
pula oleh Bukhary dan Muslim dengan lafadz lain dari jalan Sufyan bin 'Uyainah
dari Amr bin Dinar dari Abu Ma'bad dari Ibnu 'Abbas, beliau berkata (dari
lafadz hadits Muslim) :
مَا
كُنَّا نَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلاَةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى
آلِهِ وَسَلَّمَ إِلاَّ بِالتَّكْبِيْرِ
"kami
tidak mengetahui selesainya sholat Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi
wa sallam, kecuali dengan (mendengar) takbir".
Berkata
Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bary 2/326 : "Perkataan beliau
"dengan mendengar takbir" lebih khusus dari riwayat Ibnu Juraij yang
sebelumnya karena "Dzikir" lebih umum dari "takbir" dan
mungkin riwayat ini menafsirkannya sehingga diinginkan dengan mengeraskan suara
dengan "dzikir" adalah dengan "takbir"".
Maka yang benar
dalam hadits Ibnu 'Abbas ini adalah mengangkat suara pada takbir saja, bukan
pada dzikir secara umum. Kami menguatkan hal ini berdasarkan tiga alasan :
1. Riwayat
"takbir" lebih kuat dari riwayat "dzikir" karena Sufyan
Ibnu 'Uyainah lebih kuat dari Ibnu Juraij dalam meriwayatkan hadits dari Amr
bin Dinar. Lihat Syarah 'Ilal At-Tirmidzy 2/684-685 tahqiq Dr. Hammam.
2. Apabila ada
dua kalimat yang berbeda ; ada yang umum dan ada yang khusus dan dua kalimat
ini berasal dari satu hadits yang sama makhrajnya (perputaran sanadnya), maka
pengertian kalimat yang umum dikembalikan ke kalimat yang khusus. Demikian
dikatakan oleh Ibnu Daqiqil 'Ied dan lain-lainnya dari para Ulama ahli ushul
fiqh.
Maka demikian
pula dalam hadits ini, kalimat "dzikir" lebih umum dari kalimat
"takbir". Karena perputaran hadits ini satu yaitu Amr bin Dinar dari
Abu Ma'bad dari Ibnu 'Abbas, maka kalimat "dzikir" dikembalikan
maknanya ke kalimat "takbir" sehingga bisa disimpulkan bahwa yang
diinginkan dengan "dzikir" itu adalah "takbir" saja.
Wallahu A'lam.
3. Lafadz
riwayat Muslim yang kami sebutkan di atas dengan bentuk hashr (pembatasan)
sehingga semakin menguatkan bahwa hanya "takbir" saja yang disyari'atkan
untuk diucapkan dengan mengangkat suara setelah sholat. Wallahu A'lam.
Adapun selain
takbir, dalil-dalil dari Al-Qur`an dan Sunnah menunjukkan bahwa dzikir tidak
dikeraskan. Banyak dalil yang menunjukkan hal tersebut diantaranya :
Allah Ta'ala
berfirman dalam surat
Al-A'raf ayat 205 :
وَاذْكُرْ
رَبَّكَ فِيْ نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيْفَةً وَدُوْنَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ
بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ وَلاَ تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِيْنَ
"Dan sebutlah (nama) Rabb-mu pada dirimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara di waktu pagi dan petang dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai".
"Dan sebutlah (nama) Rabb-mu pada dirimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara di waktu pagi dan petang dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai".
Berkata Ibnu
Katsir :" dan demikianlah disunnahkan bahwa dzikir itu tidak berupa
teriakan atau suara keras berlebihan ".
Dan Rasulullah
shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda :
أَيُّهَا
النَّاسُ اِرْبَعُوْا عَلَى أَنْفُسِكُمْ إِنَّكُمْ لَيْسَ تَدْعُوْنَ أَصَمَّ
وَلاَ غَائِبًا إِنَّكُمْ تَدْعُوْنَ سَمِيْعًا قَرِيْبًا وَهُوَ مَعَكُمْ
"Wahai sekalian manusia kuasailah diri-diri kalian dan rendahkan suara kalian. Karena kalian tidak berdo'a kepada yang tuli dan tidak ada. sesungguhnya kalian berdo'a kepada Yang maha mendengar dan maha dekat dan Dia bersama kalian "
"Wahai sekalian manusia kuasailah diri-diri kalian dan rendahkan suara kalian. Karena kalian tidak berdo'a kepada yang tuli dan tidak ada. sesungguhnya kalian berdo'a kepada Yang maha mendengar dan maha dekat dan Dia bersama kalian "
(HSR.
Bukhary-Muslim dari Abu Musa Al-Asy'ary radhiyallahu 'anhu)
Dan dalam
hadits Abu Sa'id Al-Khudry, Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa
sallam bersabda :
أَلاَ إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ فَلاَ يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا وَلاَ يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْقِرَاءَةِ أَوْ قَالَ فِي الصَّلاَةِ
أَلاَ إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ فَلاَ يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا وَلاَ يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْقِرَاءَةِ أَوْ قَالَ فِي الصَّلاَةِ
"Ketahuilah
bahwa setiap dari kalian bermunajat kepada Rabbnya, maka jangan sekali-sekali
sebagian dari kalian mengganggu sebagian yang lain dan jangan (pula) sebagian
dari kalian mengangkat suaranya terhadap sebagian yang lain dalam membaca atau
beliau berkata dalam sholat".
(HR. Ahmad
3/94, Abu Daud no. 1332, An-Nasa`i dalam Al-Kubro 5/32, Ibnu Khuzaimah no.
1162, Abdu bin Humaid no. 883, Al-Hakim 1/454, Al-Baihaqy 3/11 dan dalam
Syu'abul Iman 2/543 dan Ibnu 'Abdil Barr dalam At-Tamhid 23/318 dishohihkan
oleh syeikh muqbil rahimahullah diatas syarat Asy-Syaikhain dalam Ash-Shohih
Al-Musnad Mimma Laisa Fii Ash-Shohihain).
Dan Syeikhuna
Muqbil Al-Wadi'iy rahimahullah dalam kitab Ijabah As-Sa`il hal.79, menyebutkan
beberapa dampak yang kurang baik dari mengeraskan dzikir, diantaranya :
1.
Orang yang
berdzikir akan terganggu oleh dzikir yang lain jika semuanya mengangkat suara
khususnya kalau susunan dzikirnya berbeda-beda.
2.
Akan
mengganggu orang-orang yang masbuq.
3.
Mengganggu
orang yang melakukan sholat sunnah bagi orang sholat sunnah setelah sholat
wajib tanpa dzikir karena ada keperluan yang mendesak atau yang lainnya.
Wallahu A'lam.
Kesimpulan :
Dzikir tidak dijaharkan (tidak dikeraskan) setelah sholat fardhu
kecuali ucapan takbir disunnahkan untuk mengeraskannya.
Pelengkap : Ucapan takbir adalah mengucapkan Allahu Akbar dan tidak disebutkan
dalam hadits berapa kali takbir ini diucapkan, karena itu takbir boleh
diucapkan beberapa kali tanpa terbatas tapi utamanya dengan urutan bilangan
ganjil. Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah riwayat Bukhary-Muslim,
Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda :
إِنَّ اللهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ
"Sesungguhnya Allah itu tunggal, menyenangi bilangan
ganjil".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar